top of page

An-Nafs Fil Quran, Jiwa Manusia Menurut Alquran (PART-2)


YSAlhambra.com -- Jiwa manusia adalah ciptaan Allah SWT. Sebagai pencipta, Zat Yang Maha Kuasa menghendaki jiwa berjalan sesuai aturan yang telah digariskan. Sehingga, pemiliknya bisa sampai pada kondisi yang penuh kebaikan dan ketenteraman, serta mampu menapaki jalan terang-benderang yang di ujungnya terdapat surga sebagai hadiahnya.

Akan tetapi, bangsa manusia tidak hidup sendiri di jagat mahaluas yang berdiameter 4,9 exp 9 pc ini. Manusia hidup bersama bangsa setan yang menjadi musuh abadinya. Setan tidak ingin anak cucu keturunan Adam mendapat 'hadiah istimewa' berupa surga dan meninggalkannya seorang diri di neraka.

Oleh karena itu, setan dan anak cucunya sekuat tenaga berusaha menggoda jiwa manusia untuk mengobarkan nafsu syahwatnya, ditumbuhkan rasa benci berbuat kebaikan, dan akhirnya manusia benar-benar menyerah untuk mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan.

An-Nafs fil Qurán merupakan karya tulis ulama Mesir yang juga pernah menjabat sebagai rektor Universitas al-Azhar, Prof Dr Ah mad Umar Hasyim. Dia menjelaskan secara rinci tentang pembagian jiwa manusia menurut Alquran, dileng kapi dengan penafsiran dari berbagai ulama besar.

Uniknya, di buku ini hadir dua ulama besar Mesir di zamannya yang turut serta memberikan kata pengantar, yaitu ulama tafsir Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi dan ulama pergerakan Mesir sekaligus penulis Islam, Syekh Muhammad al-Ghazali rahimahumullah.

Dalam Alquran kata ‘an-nafs’ atau jiwa disebutkan 300 kali dengan berbagai bentuk kalimat dan kata asalnya, misalnya, nafs al-lawwa mah, nafs amarah, nafs muthmainnah, nafs al-mardhiyah, dan nafs radhiyah. Pengetahuan tentang ‘an-nafs’ sendiri akan sangat terpengaruh oleh pernyataan Allah SWT dalam Alquran, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urus an Tuhanku, dan tidaklah diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (QS al-Isra: 85).

Maksudnya, permasalahan ruh termasuk dalam hak Allah SWT dan jika ia berkehendak untuk menciptakan sesuatu, cukup mengatakan ‘kun’.

Karena itu, ketika Allah ingin menciptakan suatu kehidupan, Ia satukan antara ruh dan badan maka terbentuklah kehidupan baru. Jasad tidak akan bisa hidup tanpa adanya ruh, dan begitu juga tidak akan tampak keberadaan ruh tanpa adanya jasad, keduanya saling membutuhkan. Dan, ketika jasad dan ruh bersatu maka mun cullah apa yang disebut sebagai jiwa atau ‘an-nafs’.

Allah tidak membebani ruh dan badan dengan berbagai perintah, akan tetapi jiiwa inilah yang Allah berikan beban untuk menjalankan syariat. Sebab, setelah peleburan antara jasad dan ruh dan terjadi kehidupan, selanjutnya akan lahir kecen derungan-ke cenderungan dari anggota tubuh. “Maka, Allah meng ilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS asy-Syams: 8).

Mata memiliki kecenderungan untuk melihat dan lidah cenderung untuk berbicara. Seluruh anggota tubuh memiliki keinginan untuk memberi kesenangan jiwa. Namun, apa yang dianggap sebagai kesenangan, justru sering membawa kesengsaraan bagi jiwa. Begitulah pemaparan ulama tafsir, Syekh Mutawalli Sya’rawi, dalam pengantar buku ini.

Sedangkan menurut tokoh pergerakan Mesir, Syekh Muhammad Ghazali, ada dua penyebab manusia terjerumus ke dalam dosa. Pertama, lupa mengigat Allah (zikir) dan kedua lemahnya tekad (azzam) untuk menjauhinya.

Beliau menyitir kisah Adam AS yang menyebabkannya diusir dari surga (QS Thaha:115). Jika saja saat itu Adam dalam kondisi ingat kepada Allah dengan menghadirkan perintah-perintah-Nya dan sadar kemudian bertekad dengan kuat niscaya ia tidak akan merugi.

Dalam bab pertama, penulis memaparkan tentang ibadah dan pengaruhnya dalam penyucian jiwa. Bahwa ibadah harus berujung dengan kebersihan jiwa dan jauh dari dosa-dosa, karena ia bukan sebatas gerakan-gerakan kaku tanpa ruh dan makna-makna di dalamnya. Ambil contoh, shalat lima waktu.

Alquran dengan gam blang menunjukkan pengaruh dan tujuan dari ibadah shalat. “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya meng ingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Ankabut: 45).

Dalam shalat ada keikhlasan, rasa takut karena berhadapan dengan Tuhan Pencipta Alam, dan zikir kepada Allah. Dari keikhlasan seharusnya lahir sikap baik, rasa takut —kepada Allah— menjadikan pelakunya takut berbuat mungkar. Kemudian, zikir kepada Allah menjadi tolok ukur dalam menjalani kehidupannya. Begitu pula dengan ibadah-ibadah lainnya, seperti zakat, puasa, dan shalat. Semuanya bertujuan untuk membawa seorang hamba di tahap ketakwaan yang konstan.

Sedangkan jiwa-jiwa yang tidak menjadikannya bersih de ngan iba dah-ibadah di atas, menurut penulis, kemungkinannya dua sebab. Pertama, disebabkan ia melaksanakan ibadah tersebut tidak sempurna, baik dalam rukun, adab, dan syaratnya, kemudian tidak meniatkan ibadah tersebut untuk Allah semata. Kedua, kemungkinan ia tidak selalu melakukannya dan masih bolong-bolong.(R)

Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page